Tasikmalaya, 26 Juli 2025 — Aktivis sosial dan pemerhati kebijakan publik, Cevi Supriatna, turut angkat suara menanggapi isu rencana pemerintah untuk memajaki amplop kondangan yang tengah menjadi sorotan publik. Menurutnya, wacana tersebut mencerminkan kurangnya sensitivitas negara terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat yang saat ini sedang tertekan.
Cevi menegaskan bahwa dalam situasi pemulihan ekonomi pasca-pandemi dan gejolak harga kebutuhan pokok yang belum stabil, pemerintah seharusnya fokus pada kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil, bukan justru menambah beban dengan regulasi-regulasi yang kontraproduktif.
“Di tengah jeritan ekonomi masyarakat yang kian nyata, negara seharusnya hadir sebagai pelindung, bukan malah sibuk mencari-cari celah untuk menekan rakyat kecil dengan dalih perluasan pajak. Pajak terhadap amplop kondangan bukan hanya tidak etis secara sosial, tapi juga mencederai nilai-nilai gotong royong dan kearifan lokal yang selama ini menjadi ciri khas masyarakat Indonesia,” tegas Cevi.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa banyak masyarakat saat ini sedang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar akibat ketidakpastian ekonomi. Kebijakan yang tidak tepat sasaran akan memperparah kesenjangan sosial dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
“Jika benar pemerintah ingin meningkatkan penerimaan negara, seharusnya yang dibenahi terlebih dahulu adalah kebocoran anggaran, efisiensi belanja negara, serta penguatan sektor produktif. Bukan mengambil dari ruang-ruang sosial yang bersifat solidaritas seperti amplop kondangan,” tambahnya.
Cevi juga menyoroti pentingnya evaluasi terhadap kebijakan fiskal yang saat ini diterapkan, baik di level pusat maupun daerah. Menurutnya, sudah terlalu banyak masyarakat yang terdampak keberlangsungan hidupnya akibat keputusan-keputusan yang tidak mempertimbangkan realitas di lapangan.
Di akhir pernyataannya, Cevi Supriatna menyerukan agar pemerintah lebih mengedepankan pendekatan empati dalam merumuskan kebijakan, serta melibatkan masyarakat sipil dalam proses perumusan peraturan publik.
“Negara yang kuat adalah negara yang hadir dan berpihak pada rakyatnya, terutama dalam masa-masa sulit seperti sekarang. Jangan sampai, demi mengejar target fiskal, kita mengorbankan nilai-nilai sosial yang menjadi penyangga kehidupan masyarakat,” pungkasnya.