Pelajaran dari Badai Perlawanan Rakyat Pati

 

Oleh: Yayan Supiana, S.Sy.

Peristiwa di Kabupaten Pati adalah cermin retak yang memantulkan wajah asli relasi antara rakyat dan penguasa. Retak itu terjadi bukan karena rakyat ingin menghancurkan, tetapi karena penguasa memecahkannya dengan palu kebijakan yang tak berpihak.


Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 250% adalah peluru pertama yang ditembakkan ke dada rakyat. Pemerintah daerah berdalih ini demi infrastruktur dan karena pajak tidak naik selama 14 tahun. Namun logika ini ibarat memeras jeruk yang sudah kering ditekan habis tanpa peduli apakah masih ada airnya. Kenaikan pajak tanpa mempertimbangkan daya beli dan kondisi ekonomi adalah bukti buta hati terhadap penderitaan rakyat. Dalam hukum pajak ada asas *ability to pay*, tetapi di Pati asas itu dikubur demi ambisi kas daerah.


Peluru kedua: pemutusan hubungan kerja 220 karyawan honorer RSUD RAA Soewondo tanpa pesangon, lalu membuka lowongan baru untuk 330 orang. Ini bukan sekadar ironi ini penghinaan terhadap dedikasi dan pengabdian mereka yang selama ini menjaga denyut pelayanan publik. Dalam hukum ketenagakerjaan, pekerja yang diberhentikan berhak atas perlindungan, bukan sekadar ucapan terima kasih kosong.


Peluru ketiga: kebijakan lima hari sekolah yang memukul guru honorer karena kehilangan jam mengajar dan gaji. Efisiensi yang hanya dilihat dari angka di atas kertas, tanpa melihat isi dapur para guru, adalah kebijakan yang lahir dari ruang rapat dingin tanpa suara hati.


Ketiga peluru ini membentuk paket lengkap alasan rakyat untuk melawan. Permintaan maaf bupati dan pencabutan kenaikan PBB hanyalah tambal sulam di kain yang sudah sobek parah. Krisis kepercayaan tidak sembuh dengan selembar permintaan maaf, tapi dengan perubahan sikap, keberpihakan nyata, dan kerendahan hati yang konsisten.


Bagi semua pemimpin daerah maupun pemimpin negeri ini, Pati adalah alarm keras. Kekuasaan bukan untuk menguji kesabaran rakyat. Jangan bermain api di ladang kering satu percikan saja bisa memicu kebakaran yang meluas. Tantangan bupati kepada rakyat untuk *“kumpulkan 50 ribu orang”* adalah potret kesombongan kekuasaan. Pemimpin sejati mengundang rakyat untuk dialog, bukan mengajak adu jumlah di jalanan.


Rakyat pasti cinta negeri ini. Cinta itu terlihat dari kerja keras petani di sawah, dari peluh nelayan yang mengarungi laut, dari gotong royong membangun masjid, sekolah, dan jalan. Namun cinta bukan berarti tunduk pada kebijakan yang menindas. Cinta sejati kepada tanah air justru mendorong rakyat untuk melawan ketika pemimpinnya lupa pada sumpah jabatan.


Perlawanan rakyat Pati adalah pesan terbuka bagi seluruh penguasa di negeri ini: jangan pernah menganggap kesabaran rakyat sebagai kelemahan. Kesabaran itu ibarat air tenang yang dalam—diamnya menyejukkan, tapi ketika terusik, ia bisa berubah menjadi arus deras yang menumbangkan segala yang berdiri di depannya. Kekuasaan sejati bukan diukur dari berapa banyak kebijakan yang bisa dipaksakan, tetapi dari berapa banyak hati rakyat yang bisa dijaga.


Jaga negeri ini dengan hati, bukan dengan tangan besi. Karena negeri ini milik rakyat, bukan milik kursi kekuasaan.

Lebih baru Lebih lama